Mencari Pemimpin Profetik

Karat-karat Kepemimpinan
Dalam kurun waktu beberapa tahun kebelakang, dunia diledakkan oleh pemimpin-pemimpin dengan karakter yang eksplosif. Konon pemilihan presiden Amerika pada tahun 2016 ini melibatkan 2 calon presiden dengan tingkat kebencian tertinggi sepanjang sejarah. Mulut Donald Trump merupakan media darling. Tak ada yang kaget jika baru beberapa menit ia bicara, sudah terucap kalimat yang bersifat repulsif, tak senonoh, menghina, emosional, dan kontras dengan perkataan-perkataan sebelumnya. Memang sudah tugasnya seorang politisi untuk berbohong, namun Trump melakukan tugasnya dengan payah. Mari kita merapat ke Asia Tenggara. Ada Rodrigo Duterte. Ia berbeda dengan Trump, ia memiliki otoritas. Kalau tatkala pejabat di pemerintahan Australia berani ‘mati’ dalam dunia politik untuk mengendalikan peredaran senjata mesiu di negaranya, Duterte berani mematikan nyawa pemakai dan pengedar narkoba di negaranya. Tembak mati! Agaknya, sifat melompat-lompat Duterte tak hanya dalam pengambilan kebijakan. Wong Filipino ini berani memercikkan noda ke hubungannya dengan Amerika dengan menghina Barrack Obama sebagai anak dari seorang pelacur. Jangan kapok dulu dengan Duterte. Kita tak perlu melihat jauh-jauh untuk menemukan pemimpin temperamental. Siapa yang tidak kenal Ahok, dengan pernyataannya yang sampai-sampai mencederai banyak hati kaum agamis dengan mengatakan sesuatu yang menyerempet SARA. Hanya dengan satu pidato, Ahok berhasil menggerakkan ribuan massa menyerbu istana dalam rangka mengadili pernyataannya dalam meja hukum.

Banyak pembelaan yang mengatakan bahwa inilah pemimpin-pemimpin tegas yang siap membawa perubahan, merombak negara yang sudah jenuh dengan kepayahan. Sayangnya, kata-kata seperti ‘ofensif’, ‘impulsif’, dan ‘kasar’ sudah mulai diasosiakan dengan kata ‘tegas’. Secara objektif, pemimpin-pemimpin tersebut mungkin memiliki beberapa pengaruh dalam masyarakat. Dengan kebijakannya, Rodrigo berhasil meredam peredaran narkoba di Filipina, walau dengan cara yang brutal. Namun, sayangnya kepemimpinan bukan hanya berbasis pencapaian. Ada satu lagi esensi kepemimpinan yang mulai terlupakan, yakni karakter, akhlak. Bukankah Nabi kita diturunkan untuk menyempurnakan akhlak manusia? Stephen Robbins dalam buku Organizational Behaviors berpendapat bahwa kepemimpinan tak hanya bertumpu pada kapasitas intelektual, namun juga membutuhkan kecakapan emosional, yang turut berpengaruh dalam efektivitas kepemimpinan. Ada konsekuensi moral dalam setiap tindak-tanduk pemimpin.

Pohon sinonim 'tegas'
Gambar 1. Pohon sinonim ‘tegas’

Bu Tri Rismaharini memiliki karakter yang tegas dan terkadang meletup-letup. Namun, Bu Risma tidak mengindikasikan penghinaan dalam cakupan perkataannya selama menjadi walikota Surabaya. Menurut teori Nusron yang sedang populer akhir-akhir ini, “tidak ada yang tahu maksud suatu perkataan kecuali pembicaranya” -dan kita juga tidak tahu apakah perkataan politisi hanya sebatas lautan madu berpantaikan sakar-, konsistensi perkataan yang keluar dari mulut seseorang adalah refleksi dari dalam dirinya. Itulah yang sampai kepada khalayak, dan itulah yang akan menggaung di media dan membentuk opini publik. Seorang pemimpin yang lepas kendali dengan mengetahui konteks ini telah gagal membangun karakter kepemimpinan yang baik. Memilih sosok pemimpin teladan karena keeksentrikan karakter dan sifat ‘apa adanya’ adalah pola pikir yang sepatutnya diperbaiki. Menelaah dan mengkaji karakter pemimpin yang baik secara objektif adalah sebuah tahap krusial dalam membentuk kerangka berpikir kita dalam memilih pemimpin.

Memilah Sosok Pemimpin Teladan
Model kepemimpinan yang baik tak sulit ditemukan. Kita dapat mencontoh dan mencomot variasi sifat, karakter, dan paradigma dari berbagai role model. Salah satu tokoh yang tak dapat dielakkan sebagai sosok pemimpin yang relevan dijadikan teladan dalam konteks setiap zaman adalah Nabi Muhammad saw. Michael Hart dalam buku The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, menobatkan Muhammad saw. sebagai orang nomor satu yang berpengaruh di dunia, terlepas dari agamanya yang notabene non-muslim. Hart memaparkan bahwa Muhammad saw. memiliki pengaruh yang lebih besar dalam ranah penyebaran agama, maupun aspek ‘sekuler’, atau politik. Hart berani mengatakan bahwa beliau adalah pemimpin dalam dunia politik yang paling berpengaruh sepanjang sejarah. Dalam buku biografi berjudul Muhammad, Karen Armstrong, seorang sejarawan Inggris, menyatakan bahwa Muhammad saw. adalah seorang sosok sejarah jenius yang berhasil menorehkan kesuksesan spiritual dan politik.
Dalam Al-quran, disebutkan secara eksplisit bahwa dalam diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasuullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah [al-Ahzab:21]

Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat yang turun ketika perang Ahzab ini merupakan fondasi yang agung dalam meneladani Rasulullah saw. dalam perkataan, perbuatan dan keadaan beliau. Orang-orang diperintahkan meneladani Rasulullah dalam perang Ahzab dalam kesabaran, istiqomah, perjuangan dan penantian beliau terhadap pertolongan Rabbnya (Tafsir Ibnu Katsir, 6/391).

Dipandang dari sudut luar maupun dalam Islam, tak dapat dielakkan bahwa Muhammad merupakan sosok pemimpin yang patut kita teladani. Tidak ada yang bisa meniru Muhammad seutuhnya, namun kita dapat belajar menemukan sosok yang memiliki nilai-nilai dan prinsip yang beliau terapkan.

Kepemimpinan Profetik
Muhammad saw. merupakan seorang rasul, yang seperti rasul-rasul lainnya memiliki tugas menyampaikan pesan kepada umat manusia. Ujian adalah sebuah keniscayaan, dan umat adalah tanggungjawab dari para Rasul. Kita dapat meneladani kisah-kisah rasul dan mengaitkannya dengan konteks kepemimpinan berbasis karakter. Banyak yang mengenal model kepemimpinan ini sebagai Kepemimpinan Profetik (Prophetic Leadership). Istilah kepimimpinan profetik dipopulerkan oleh Kuntowijoyo, sebagai elaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori transformasi sosial. Dengan kata lain, konstruksi pengetahuan dalam dimensi profetik adalah memahami realitas sebagaimana Alquran memahaminya. Pengembangan kepemimpinan profetik mencakup dua metode: metode vertikal (spiritual) dan metode horizontal (performa sosial). Tidak seperti akar keilmuan Barat, dalam teori kepemimpinan profetik, wahyu menjadi sumber pengetahuan yang krusial. Visi dan misi dari kepemimpinan profetik sendiri tercakup dalam surat Ali Imran:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” [Ali Imran: 110]

Ada tiga misi kepemimpinan profetik: humanisasi (menyuruh kepada yang ma’ruf), liberasi (mencegah dari yang munkar), dan transendensi (beriman kepada Allah). Ketiga hal tersebut adalah prasyarat tercapainya predikat umat terbaik. Humanisasi dan liberisasi merupakan bergeraknya manusia melawan ketertindasan dan kesempitan berpikir, dengan perjuangan dalam gelora tauhid. Dengan gelora tauhid, Nabi Ibrahim memperjuangkan kebenaran dengan mengkritisi para penyembah berhala di depan umum, yang disambut dengan cemooh. Pada akhirnya, Ibrahim melayangkan kampak bukan pada orang-orang yang mencemooh, namun kepada patung-patung berhala, simbol pemikiran sesat. Transendensi merupakan manifestasi dari humanisasi dan liberisasi, yakni kesadaran ilahiyah yang mampu menggerakkan hati dan bersikap ikhlas atas apa yang dilakukan.

Misi kepemimpinan profetik.png
Gambar 2. Misi kepemimpinan profetik

Ketiga misi inilah yang menjadi daya dorong dakwah para nabi dan rasul. Dari kisah Nabi Musa, kita belajar tentang kepemimpinan revolusioner, dengan hanyutnya kerajaan Firaun dari pemberontakan masyarakat middle class. Dari kisah Nabi Yusuf kita belajar tentang kepemimpinan reformis, dengan diperolehnya kepercayaan pemerintah Mesir terhadap Yusuf untuk memegang posisi strategis di dalamnya. Dari Nabi Muhammad kita belajar tentang kepemimpinan transformative, yang berlangsung lama dan bertahap. Dari masyarakat tertindas sehingga menjadi ujung tombak kepemimpinan umat. Nabi Muhammad memosisikan Islam sebagai gerakan perubahan. Dari perubahan keyakinan (tahid rububiyyah, uluhiyyah, dan mulukiyyah), perubahan ruh, perubahan pemikiran, perubahan akhlak, perubahan wawasan, perubahan sosial dan perubahan gerakan. Fase Rasulullah terbagi 2, fase Mekkah (pembentukan kepribadian, yang intens dalam pengumandangan tauhid serta fase Madinah (pembentukan Jama’ah) yang mengedepankan persaudaraan dan persatuan umat Islam. Penyatuan kedua fase tersebut dijembatani oleh fase Hijrah. Hijrah merupakan titik tolak perubahan. Ada hijrah mentalitas dan hijrah teritorial.

Anatomi kepemimpinan Nabi Muhammad saw. adalah integrasi karakter dan kompetensi. Karakter merupakan jiwa, hati dan pikiran seorang pemimpin. Ideologi merupakan kompas moral kita. Integriras, fokus, keberanian, keberanian dan kerendahan hati merupakan kualitas personal yang mencirikan seorang pemimpin yang baik. Dimensi karakter kepemimpinan profetik dapat dibagi menjadi shiddiq (conscience centered), amanah (trustworthy and highly comitted), tabligh (communication skills), dan fathonah (problem solver). Keempat aspek tersebut dijadikan parameter dalam metode saintifik untuk verifikasi keabsahan teori kepemimpinan profetik oleh Sus Budiharto. Dalam penelitian tersebut, pegawai-pegawai suatu institusi diminta menuliskan minimal lima perilaku atau sifat atasan yang mencerminkan karakteristik kepemimpinan nabi/rasul berdasarkan pengamatan dan pengalaman kerja. Sebanyak 157 responden mendeskripsikan sifat dan perilaku atasan yang mencerminkan karakteristik kepemimpinan kenabian, dan dikelompokkan berdasarkan keempat aspek yang telah disebutkan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan berupa pengertian kepemimpinan profetik sebagai kemampuan mengendalikan diri dan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan dengan tulus sebagaimana dilakukan oleh para nabi.

Kepemimpinan profetik bukanlah suatu teori asing yang tiba-tiba muncul di tengah zaman, namun sudah tertanam dalam manusia sejek zaman Nabi Adam, dan muncul dalam berbagai wujud hingga kini. Mengaplikasikan tujuan yang besar ini tentunya tak mudah. Walau begitu, kerangka berpikir membantu kita menemukan karakter-karakter kepemimpinan yang masih bersinar diantara kekeruhan moral yang kerap kita hinggapi dalam negeri tercinta ini.

Rujukan

Ahimsa-Putra, H. S. (2011). Paradigma Profetik: Mungkinkah? Perlukah?. Unpublished paper.

Budiharto, S. DEVELOPING PROPHETIC LEADERSHIP.

Budiharto, S., & Himam, F. (2006). Konstruk Teoritis dan Pengukuran Kepemimpinan Profetik. Jurnal Psikologi, 33(2), 133-145.

Hart, M. H. (1978). The 100: A ranking of the most influential persons in history. Citadel Press.

Rofiun, I. (2014).  Membumikan Kepemimpinan Profetik. Diambil dari: http://www.dakwatuna.com/

One Comment Add yours

Leave a comment